Kenduri Cinta 14 Mei 2010 - Lorong Peradaban

Absen minggu lalu membuat diri saya rindu mengikuti sekolah pasca sarjana saya di maiyahan kenduri cinta. Kenduri Cinta kali kemarin bertepatan dengan hari terakhir sasi bakda mulud yaitu jumat (14 Mei). Makanan pembuka disajikan dengan hangat oleh tiga orang yang ndongeng secara simultan yaitu arkeolog wanita, motivator, dan aktivis wirausaha kemudian dilengkapi camilan oleh dik doang dan anak asuhnya, dan santapan utama oleh Ulil Abshar Abdalla dan Kyai Budi.
Hari jumat itu saya sangat sibuk sebab saya masih mempersiapkan acara training untuk besok hingga pukul 21.00. Jadilah saya terlambat datang sekitar pukul 23.00, terima kasih pada my best friend, the security officer, bang dadan, atas pinjaman motor mio nya. Motor pun saya pacu sekencang-kencangnya menuju cikini raya tepatnya di Taman Ismail Marzuki. Kepenatan dan kelelahan saya terbayarkan begitu saya parkir motor pinjaman ini. Teman-teman yang sudah ndoprok di depan panggung sudah menyediakan satu tempat lesehan untuk saya.
Saya datang untuk mencari ilmu, maka saya kosongkan ember yang saya bawa untuk diisi air, dan kulupakan semua jadwal-jadwal, tanggung jawab dan tugas-tugas yang "ngandoli" otak ini.
Menu perkuliahan pada kenduri cinta malam itu adalah Lorong Peradaban. Karena saya telat, saya melewati materi pertama oleh bapak berpeci hitam. Materi kedua dibawakan oleh seorang ibu (ngakunya sih) arkeolog keturunan jawa-aceh. Si arkeolog ini (terlalu) bersemangat menceritakan temuan-temuannya tentang peradaban masa lalu bangsa ini dan ngotot ingin mengembalikan kejayaan masa lalu kita (dengan aksen ibu-ibu yang khas). Sedangkan sajian pembuka terakhir di bawakan oleh Mas Jay. Materinya tentang wirausaha, membandingkan monyet dan manusia dalam bekerja dan berusaha di Indonesia membuat para "siswa" tersegarkan (soalnya pemateri sebelumnya autis semua). Puji Tuhan, saya dapet satu buku yang ia tulis sendiri. Setelah itu, Dik doang dan anak asuhnya bermain musik lepas campuran alat musik barat dan barang bekas, "harmoni itu tidak penting bagi saya" ujarnya. Tapi, derap gebrakan jirigen bekas yang diiringi band terdengar cukup harmonis, apalagi komponen anak-anak membuat musik ini terasa sangat ceria. Di tengah camilan kenduri cinta ini, Kyai Budi didaulat Dik doang menyairkan lirik versinya sendiri secara spontan, namanya juga orang sufi, bahasanya indah penuh makna ketuhanan dan anehnya nyambung sama lantunan musiknya, ya seperti orang deklamasi puisi itu lo. Di akhir performance-nya, Dik doang berkata "biar aja kita enggak jadi idola, kita hanya ingin menjadi kumpulan orang yang menjaga air bersih tetap mengalir, kicau burung tetap lestari, dan menjaga alam ini tetap dalam harmoni nya", pernyataan yang sungguh "biasa", jarang ada orang bercita-cita seperti dia yang "biasa". Sayangnya, waktu menunjukkan 01.00 waktu setempat. Saya harus pulang sebelum Kang Ulil memberi sajian. Saya harus memberi hak pada tubuh ini. 
Petikan hikmah dari pertemuan maiyah hari itu adalah belajar dari sejarah....bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

author
Aris Wirawan
Seorang internet marketing enthusiast. Sedang mengoptimasi dan mengautomasi bisnis dengan partner menggunakan teknologi informasi terkini.